Pendidikan mengenai Hak Kekayaan Intelektual (HKI) perlu diketahui masyarakat. Pemasyarakatan atau sosialisasi ini dapat dilakukan oleh praktisi atau akademisi yang mengerti HKI. ”Jika tidak tahu HKI, perlu sosialisasi, karena ini berkaitan pada hasil karya orang lain,” ungkap Ketua Asosiasi Konsultan AKHI dan Sekjen MIAPYustisiari Perdana Kusumah SH pada seminar nasional Peran HKI dalam Ekonomi Kreatif di Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 (Untag), beberapa waktu lalu.
Pendidikan yang dapat diberikan kepada masyarakat, lanjut dia, adalah penyadaran tentang menghargai karya orang lain. Sebab, jika sampai mereka tidak menghargai, tidak akan ada hak moral bagi pencipta karya. Moral dalam hak cipta adalah kekayaan yang harus dilindungi dalam hak intelektual. Jika terjadi pelanggaran moral, maka akan merugikan orang lain. Dosen Fakultas Hukum Untag Dr Sigit Irianto SH MH mengatakan, melihat kasus-kasus tentang HKI yang terjadi dewasa ini, sangat tercermin bahwa penegak hukum belum tegas dalam menindak dan memahami persoalan tersebut.
”Teori dan pengetahuan hukum melalui HKI ingin masyarakat pelajari, sehingga kalau melihat kasus demi kasus semua pihak angkat tangan terhadap persoalan tersebut,” katanya. Sifat HKI di antaranya mempunyai jangka waktu tertentu atau terbatas dan bersifat ekslusif serta mutlak, sehingga jika suatu karya mempunyai merek, maka harus dilindungi, karena hal itu berhubungan dengan aset intelektual, hak eksklusif, nilai ekonomi, penghargaan dan, pengakuan hukum.
Sementara itu, Tim Telstra sekaligus Sekretariat Wakil Presiden RI Dr V Henry Soelistyo Budi SH LLM menjelaskan, ancaman yang terjadi pada eksploitasi ilegal industri kreatif, di antaranya, mutilasi, distorsi, dan modifikasi. ”Mutilasi biasa terjadi pada lukisan, foto atau lagu, sedangkan pada distorsi biasanya pada parodi, genre musik, dan aransemen lagu. Sementara modifikasi bisa dilakukan pada tari, film, arsitektur, dan software,” tuturnya. (K3-37)
Sumber: suaramerdeka.com